Home · Cerpen · Puisi · Essai

Tunggu Aku, Mengetuk pintu Rumahmu

Aku telah tiba di tempat ini, di kampungmu.Tak perlu kukisahkan kenapa aku ada di sini, tanah kelahiranmu, tempat leluhurmu beranak pinak. Aku datang mengetuk pintu rumahmu penuh harap, ada respon indah yang kudapat darimu aku harap kau ingat dan tahu alasan apa yang membuatku kesini. 5 tahun terakhir pertemuan kita di sebuah tempat pertunjukan, kau menyapaku dengan hangat, mengajakku berkenalan, lalu menjalin hari-hari yang indah bersamaku. Kini, aku datang ke rumahmu dengan segunung rindu untuk segera dituntaskan. Aku harap kau tahu alasan apa yang membawaku ke sini, namun jika kau lupa, akan kuingatkan kembali, ini semua karena perjanjian, ingin kutunaikan janjiku, menemuimu di rumahmu, menikmati secangkir teh dan hidangan kue tradisional kampungmu yang selalu kau ceritakan di ujung telepon kala itu.Aku datang menunaikan janji, menuntaskan rindu yang tiada henti menumpuk, melewati perjalanan yang sebenarnya melelahkan tapi aku menikmatinya sebab harap ada jua rindumu untukku. Sore yang dingin, hujan perlahan reda, gerimis tipis masih bernyanyi di atas ranting dan daun pohon. Desir angin resah membuat dingin tubuhku, kukenakan jaket untuk menghangatkan tubuhku dari gigil yang menghampiri, tapi berusaha kulawan. Senja kali ini berlalu begitu cepat, rinduku padamu mengejar untuk segera dituntaskan. Kampong yang pertama kali kukunjungi ini, seperti telah menyimpan banyak kenangan. Di kampong ini aku menyaksikan para nelayan pulang melaut membawa ikan hasil tangkapan untuk keluarga dan mungkin sebagian dijualnya untuk memenuhi kebutuhan keluarga dan mungkin untuk biaya sekolah anak-anaknya, menenteng hasil melautnya dengan senyum legah bisa membawa hasil untuk anak istrinya di rumah, para ibu-ibi yang baru saja pulang dari sungai menggali pasir untuk tambahan biaya kebutuhan sehari-hari membantu suami mencari nafkah, di kampong inii pula aku masih menyaksikan anak-anak kecil berlarian pulang mengaji. Damai sekali rasanya di kampong ini. Selain karena janji, ada alasan lain yang membuatku sangat memberanikan diri ke sini sendiri, itu karena kau, karena cinta dan rindu yang telah kau tinggalkan di sini, di hatiku. Aku ingin tahu seperti apa rupamu sekarang, masih hangatkah senyummu itu untukku? Dan masihkah hatimu sendiri setelah kepergian kekasihmu yang selalu saja membuat hatiku luka saat ku dengar dan kau ceritakan padaku tentangnya.Ahh rindu. Angan-angan untuk bertemu denganmu semakin gencar menyapa, wajahmu senantiasa terbayang dalam ingatanku, aku membayangkan bagaimana tingkahku ketika terpana memandang wajahmu, bagaimana aku memberanikan diri untuk mengenalmu lebih dekat, bagaiman kencang degup jantungku ketika bersalaman tangan denganmu, kubayangkan bagaimana tatapanmu saat menatap wajahku yang berhasil menunaikan janji yang dipenuhi rindu yang bergelora. Sekitar 10 Jam melewati perjalanan menuju kampungmu, jalan yang berliku, aspal jalan yang berlobang, kemacetan semua berhasil kulalui hanya untuk menuju kampungmu menemuimu.Senja mulai meninggalakan rumahnya, malam mulai datang merangkul orang-orang kembali ke rumah menikmati istrahatnya. Perjalanan panjang itu membuat tubuhku dihinggapi lelah, perjalanan kali ini perjalanan terjauh yang pernah kulewati, yah perjalanan menuju rumahmu. Kini, aku telah tiba di kampungmu, sejenak mengistrahatkan diri di balai ronda pinggir jalan sebelum melanjutkan perjalanan menuju rumahmu, di tempat istrahat itu, angan-angan mulai menghampiriku kembali, semoga kau menyadari kedatanganku bahwa aku masih menyimpan cinta diamku untukmu. Aku tertidur, kelelahan menghampiriku ketika bangun hari sudah mulai pagi, aku langsung bergegas menuju rumahmu, menanyakan alamatmu pada orang sekitar. Kini, aku di sini di halaman rumah bercat kuning, rumah yang sedari dulu kuimpikan untuk segera kukunjungi, berdiri di depan rumahmu, mengetuk pintu rumahmu dengan rindu yang belepotan, mengetuk pintu dengan halus seperti janjiku dulu. Matahari menyapaku dengan hangat, aku masih saja mengetuk pintu rumahmu berkali-kali dengan lembut, tapi belum juga datang tanda-tanda kehadiranmu memberikan respon. Kemana dirimu? Bukankah kita telah bersepakat untuk bertemu bercengkrama di beranda rumahmu menikmati secangkir teh, saling melebur kisah pada tatapan mata yang saling merindu. Putus asa mulai menghampiriku, lama aku menunggu tak ada sedikitpun tanda kau akan membalas ketukan pintuku. Aku berbalik berniat meninggalkan rumahmu, tapi tiba-tiba suara langkah kaki dari dalam rumah mulai menghampiri. Kaukah itu Hamdi? Tanyaku dalam hati Perlahan pintu rumahmu terbuka, wajahku tiba-tiba berubah merah merona, ingin berteriak, berlari lalu memelukmu, tapi tidak langkahku kuhentikan penuh malu.
“ Ima kau datang, aku telah lama menunggumu di sini, menemaniku menulis puisi” katanya dengan lembut Ia lalu menarik tanganku dengan lembut masuk menuju rumahnya ” di sini aku selalu menunggumu, datang dengan senyummu yang hangat, menyapa namaku dengan lembut” jelasnya Aku masih berada dalam diam, haru menghampiriku, tatapan, sentuhan dan suara lembut itu akhirnya bisa kulihat kembali. ” Ima, aku telah menyadari bahwa jiwaku ada padamu, maaf atas luka yang dulu seringkali kusematkan pada hatimu, sungguh aku tolol, tak bisa membaca rasa yang kau punya untukku, Maafkan aku Ima” katanya dengan mata berkaca-kaca “ kumaafkan atas salah yang tak pernah kau perbuat Hamdi’ balasku “ masihkah hatimu yang dulu untukku ? tanyanya “ kau mencintaimu Hamdi? Tanyaku spontan “ aku mencintaimu Ima, sungguh ini cintaku untukmu” balasnya meyakinkanku “Di’ aku telah melewati jalan menuju rumahmu, menunaikan janjiku karena cintaku padamu, kini jika kau jua mencintaiku, , maukah kau membuat janji yang sama dengan janjiku dulu, melewati jalan yang panjang, jalan yang sama menuju rumahku, lalu meminangku? Meminta pada orang tuaku, selamanya menemanimu menulis puisi, menjadi ibu dari anak-anakmu? Hamdi menarik, memelukku dengan erat, lalu mengangguk penuh bahagia. Mentari menyemburkan sinarnya penuh hangat, merasuk tubuhku yang sedang dilanda suka. Bahwa, menunggu adalah waktu yang sesungguhnya dalam kehidupan, menunggu seperti sebuah pekerjaan yang tidak menyenangkan, tapi ada rahasia tersembunyi dari penantian itu, ada keindahan rindu yang melekat pada keberanian menghadapi detik waktu mencari kedalaman keindahan pada ketulusan cinta. Bulukumba, 01 September 2015

Artikel keren lainnya:

Belum ada tanggapan untuk "Tunggu Aku, Mengetuk pintu Rumahmu"

Posting Komentar

Back to top