Kamis itu langit tampak mendung, menggantungkan awan kelabu seperti menyimpan rahasia masa lalu yang siap diceritakan ulang. Di hari yang manis itu, saya melangkah bersama dua perempuan luar biasa yang menjadi bagian penting dalam hidup saya Kak Anjar dan Kak Ikki. Bersama mereka, saya menyebut perjalanan ini sebagai langkah Lajur Perempuan, bukan sekadar penanda arah, tapi jalan niat dan cita-cita yang ingin kami tempuh Bersama
Hari itu, saya kembali menyambung obrolan tentang inisiasi yang sedang kami gagas, MEREKAM Bulukumba sebuah upaya merekam jejak sejarah kota ini, menyusuri kisah-kisah yang mulai pudar, dan membawanya kembali ke ruang dengar anak muda yang belum sempat mengenalnya.
Kami bertemu dengan Pak Agusriyadi di Warkop Nagoya, tak jauh dari jembatan Teko yang selalu ikonik di Bulukumba. Pak Agus bukan orang asing bagi saya. Beliau adalah sahabat lama, teman berdiskusi dalam banyak ruang dan waktu terutama saat kami masih aktif di kegiatan literasi, budaya, dan lingkungan. Ada banyak memori bersama Pak Agus dan keluarganya, yang dulu sering hadir di masa indah kami dalam aktivitas-aktivitas sosial dan kerja sukarela yang menyenangkan.
Suasana Warkop Nagoya membawa saya kembali ke masa kuliah masa di mana warkop adalah tempat paling nyaman untuk bertemu, berdiskusi, dan merancang mimpi. Sekarang, saya lebih sering berada di coffee shop yang rapi dan wangi, tapi terasa lebih jauh dari kedekatan dan kehangatan. Bahkan saya sempat kaget saat akan membayar, karena harga secangkir minuman di warkop jauh lebih bersahabat dibandingkan di coffee shop. Meskipun hari itu saya tidak menikmati minuman karena teh susu yang saya pesan justru datang tanpa the hanya susu saja saya tetap menikmati pertemuan ini sepenuhnya.
Yang paling menggetarkan hari itu adalah cerita-cerita yang dibagikan oleh Pak Agus. Saya merasa seperti sedang membuka buku sejarah yang selama ini tersembunyi. Saya baru tahu bahwa Lapangan Pemuda, yang kini menjadi tempat senam, upacara, dan berbagai kegiatan masyarakat, dulunya adalah tempat berkumpulnya para pemuda pemberontak yang berani mengangkat perlawanan terhadap penjajah Belanda.
Cerita itu membuat saya melihat kota ini dengan mata yang berbeda. Ternyata Bank Sulselbar yang sekarang berdiri gagah di tengah kota, dulunya adalah terminal pasar. Kantor Bupati saat ini, dulunya adalah SMP 1 Bulukumba di masa pemerintahan A. Patarai. Bahkan gedung Pinisi yang kini menjadi simbol modernitas Bulukumba, dulunya adalah rumah sakit A. Sultan Dg. Radja sebelum akhirnya dipindahkan ke Jalan Durian.
Semua kisah itu membuka mata saya bahwa Bulukumba bukan sekadar kota kecil di pinggir Selatan Sulawesi, tapi adalah lanskap sejarah yang kaya, dan terlalu berharga jika dibiarkan terlupa.
Saya ingin terus berjalan, menelusuri, mencatat, dan menyampaikan kembali jejak-jejak ini. Bukan hanya untuk mengenang, tapi juga untuk membangun jembatan antara masa lalu dan masa depan. Supaya anak-anak muda tahu bahwa mereka punya akar yang dalam, dan kisah yang pantas dibanggakan.
Sejarah, seperti juga langit mendung di Kamis yang tenang itu, tak pernah benar-benar hilang. Ia hanya menunggu seseorang untuk kembali menyapanya.
Hari ini, membuka mimpi baru saya dan memilih menjadi bagian untuk merekam sejarah itu. Dengan langkah sederhana melalui Lajur Perempuan, saya percaya bahwa perempuan tidak hanya bisa mencatat sejarah, tapi juga menjadi jembatan yang menghidupkan kembali ingatan sebuah kota. Karena di setiap jejak langkah perempuan, selalu ada kekuatan untuk menghidupkan yang nyaris terlupakan. Dan saya ingin Bulukumba tahu, kisahnya masih berdenyut dan kami sedang belajar merekamnya.
#merekambulukumba #lajurperempuan