Home · Cerpen · Puisi · Essai

Pulang yang Menghidupkan

Saya seorang ibu, pemilik toko, pekerja, sekaligus pegiat komunitas dan organisasi. Setiap hari saya berpindah dari satu peran ke peran lain dari menyiapkan sarapan dan perlengkapan kerja suami, menyiapkan kebutuhan Inara Marauleng yang sebentar lagi berusia tiga tahun yang sesekali bermain di rumah nenek atau sesekali ikut ibuknya bekerja, memantau penjualan toko, bekerja sebagai staf di sebuah lembaga zakat, menghadiri pertemuan komunitas atau organisasi, hingga menyusun program literasi di Rumah Baca Pinisi Nusantara 1986. Banyak yang bertanya, “Basma, kapan istirahatnya?” Saya hanya bisa tersenyum. Karena bagi saya, berbuat untuk orang lain juga bagian dari istirahat batin.

Mengatur waktu? Saya tidak punya rumus pasti. Tapi saya belajar mendengar tubuh dan hati. Saya tidak memaksakan semua harus sempurna setiap hari, tapi saya memastikan yang penting-penting tidak ditinggal. Saya belajar berkata cukup, dan belajar bahwa tidak semua harus selesai hari ini. Tugas-tugas saya bagi rata: ada untuk keluarga, ada untuk usaha, dan ada yang saya sisihkan untuk panggilan hati komunitas dan kegiatan sosial.


Yang tidak banyak orang tahu, justru dari komunitas dan kerja-kerja kerelawanan itulah saya menemukan energi. Di sana saya tidak dinilai dari gelar atau penghasilan. Saya tidak ditanya target, tapi ditanya: apa kabar jiwamu? Kegiatan komunitas adalah rumah saya yang lain. Tempat saya pulang ketika penat jadi ibu dan perempuan pekerja. Tempat saya tertawa tanpa beban, menangis tanpa malu, dan menemukan kembali alasan mengapa saya ingin terus hidup dengan bermakna.

Saya percaya, perempuan tidak dilahirkan hanya untuk ‘menyelesaikan pekerjaan rumah’. Kita diciptakan untuk memberi kehidupan: pada anak-anak kita, pada ide-ide yang kita perjuangkan, dan pada masyarakat tempat kita berdiri. Maka saya terus berjalan, meski pelan, meski sambil menggandeng anak kecil dan membawa banyak beban tak kasat mata.

 

Bagi saya, menjadi ibu bukan berarti berhenti berkarya. Justru karena saya ibu dari Inara, saya ingin dunia ini sedikit lebih baikag ar ketika anak saya tumbuh, ia tahu bahwa perempuan bisa kuat dan lembut sekaligus. Bisa lelah tapi tetap memilih hadir. Bisa berperan banyak, dan tetap punya tempat pulang.

Dan jika nanti Inara bertanya: “Bu, kenapa Ibu tidak pernah benar-benar berhenti sibuk?” Saya ingin bisa menjawab, “Karena Ibu tidak ingin hanya meninggalkan warisan uang, tapi juga warisan makna bahwa hidup ini tidak hanya tentang dirimu, tapi juga tentang siapa yang kau bantu untuk ikut bertumbuh.”

Karena kita, para ibu dan perempuan, bukan sekadar menjalani hidup. Kita sedang menulis cerita. Cerita yang mungkin tak masuk berita, tapi hidup dalam hati banyak orang. Dan saya ingin, cerita saya penuh makna walau lelah, tetap indah. Walau sibuk, tetap utuh. Dan walau tak sempurna, tetap berguna.

Artikel keren lainnya:

Back to top